Penjelasan Tentang Sewa Menyewa, Bagi Hasil & Pegadaian
ثُمَّ إنَّ بَقِيَّةَ العُقُودِ، مِنَ الإجارَةِ
“Kemudian transaksi-transaksi lainnya seperti sewa menyewa (Ijârah)”
1. Sewa Menyewa (Ijarah) adalah:
تَـمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ بِعِوَضٍ مَعَ بَقَاءِ العَيْنِ عَلَى وَجْهٍ خَاصٍّ.
“Mempermilikkan manfaat yang diperbolehkan dengan imbalan disertai tetapnya benda (yang dimanfaatkan) dengan cara tertentu”.
- Sewa menyewa itu mempermilikkan manfaat. Berbeda dengan jual beli, yang mempermilikkan benda dan manfaat.
- Sewa menyewa itu dengan memberikan iwadl (ganti) dari pemanfatan benda. Berbeda dengan ‘Ariyah (pinjam meminjam) yang mempermilikkan manfaat tanpa iwadl
Manfaat mubahah artinya manfaat yang muktabar (dinilai manfaat baik secara fisik maupun syar’i). Seperti rumah untuk tempat tinggal, mobil untuk kendaraan. Bermanfaat secara syar’i artinya syara’ tidak mengharamkannya. Menyewa seorang artis untuk bernyanyi (yang diharamkan) tidak boleh, karena tidak bermanfaat dalam pandangan syara’. Benda yang disewakan adalah benda yang tidak rusak jika dimanfaatkan.
Lilin tidak sah untuk disewakan, karena memanfaatkan lilin adalah dengan menyalakannya sehingga habis bendanya.
- Disayaratkan dalam sewa menyewa adanya shighoh menurut imam Syafi’i. Misalnya orang yang menyewa berkata: “Aku menyewa rumah ini selama setahun darimu dengan harga satu juta”, kemudian orang yang menyewakan berkata: “Aku sewakan kepadamu”.
- Disayaratkan dalam sewa menyewa upah dan pekerjaannya harus diketahui, yaitu dengan menentukan pekerjaan atau masanya: Misalnya: “aku sewa kamu untuk menjahitkan pakaian ini dengan upah seratus ribu rupiah” atau”Aku sewa kamu selama enam hari untuk menjahit dengan upah seratus ribu rupiah”.
Tidak boleh menentukan pekerjaan dengan masanya sekaligus, misalnya: “Aku sewa kamu untuk menjahit pakaian ini selama enam hari dengan upah seratus ribu”.
Sewa menyewa ada dua macam:
- Sewa menyewa pada benda (ijaroh fi al ‘ain) seperti sewa menyewa rumah untuk ditempat tinggali.
- Sewa menyewa pada dzimmah (ijaroh fidz dzimmah) seperti menyewa seseorang untuk menyampaikannya ke makkah.
وَاْلقِرَاضِ وَالرَّهْنِ
“Dan bagi hasil (Qiradl) dan pegadaian (Rahn)”.
2. Bagi Hasil (Qiradl) adalah:
تَفْوِيْضُ الشَّخْصِ وَإِذْنُهُ لِشَخْصٍ أَنْ يَعْمَلَ فِي مَالِهِ فِي نَوْعٍ أَوْ أَنْوَاعٍ مِنَ التِّجَارَةِ عَلَى أَنْ يَكُوْنَ الرِّبْحُ مُشْتَرَكًا
“Penyerahan seseorang dan perizinannya kepada orang lain untuk memutar hartanya dalam satu atau beberapa macam perdagangan dengan ketentuan keuntungannya dibagi antara mereka”.
Misalnya, si A memiliki 100 dinar emas kemudian diberikan kepada si B untuk digunakan berdagang. Harta modal yang dimaksud adalah berupa Dinar dan Dirham bukan selainnya.
Penggunaan harta untuk berdagang, bukan untuk selain berdagang. Keuntungan dibagi antara pemilik modal dan pedagang yang menjalankan modal. Pembagian keuntungan dengan persentase, misalnya, keuntungan dibagi si A setengah dan si B setengah atau si A 50% dan si B 50 % berdasarkan kesepakatan. Keuntungan tidak boleh dibagi dengan nominal, karena bisa jadi perdagangan merugi/tidak ada keuntungan. Tidak boleh misalnya, untuk si A satu juta untuk si B dua juta.
3. Pegadaian (Rahn) adalah:
جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَّةٍ وَثِيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا الدَّيْنُ عِنْدَ تَعَذُّرِ الوَفَاءِ
“Menjadikan benda yang bernilai harta sebagai jaminan sebuah hutang, di mana hutang akan dilunasi darinya ketika tidak mampu melunasi”.
Jaminan bisa berupa rumah, mobil atau lainnya. Ketika sebuah barang sudah dijadikan jaminan dalam rohn maka tidak boleh dijual oleh pemiliknya. Ketika hutang sudah jatuh tempo, dan orang yang menggadaikan barangnya tidak dapat membayar hutang, maka barang tersebut harus dijual untuk membayar hutang tersebut, bukan langsung disita dan dikuasai oleh orang yang menghutangi.
Teknisnya melalui hakim, hakim berkata kepada orang yang menggadaikan barangnya: “Juallah jaminan ini dan berikanlah harta dia (lunasi hutangmu kepadanya)”.
Peringatan:
Waspadalah terhadap praktik yang dianggap Rohn tetapi menyimpang dari ketentuan syara’, diantaranya:
- Contoh 1: orang yang menghutangi mensyaratkan untuk memanfaatkan barang jaminan secara gratis sampai orang yang hutang bisa melunasi hutangnya. Si A berkata kepada si B: “Aku beri kamu hutang dengan syarat rumah kamu saya tempati secara gratis”.
- Contoh 2: orang yang menghutangi mensyaratkan ongkos murah terhadap pemanfaatan barang jaminan disebabkan hutang orang yang menggadaikan barangnya. Si A berkata kepada si B: “Aku beri kamu hutang dengan syarat aku sewa rumah kamu dengan harga murah”
Praktek seperti ini disebut Riba al Qordl, sebagaimana sabda nabi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap hutang dengan menarik manfaat adalah riba”