Berbicara masalah Kalam Allah membutuhkan penjelasan yang sangat luas, karena banyaknya perselisihan pendapat di dalamnya. Bahkan, sebab Ilmu Aqidah (theology) dinamakan dengan Ilmu Kalam adalah karena kebanyakan materi yang diperbincangkan oleh para Teolog (al-Mutakallimun) dahulu adalah masalah Kalam Allah. Al-Kalam [bagi Allah] adalah sifat yang Azali (tanpa permulaan) dan abadi (tanpa penghabisan).
Allah dengan sifat Kalam-Nya; Dia berkalam (berbicara), memerintah, melarang, menyampaikan janji dan ancaman. Kalam Allah tidak seperti kalam lain-Nya. Kalam Allah Azali (tanpa permulaan) dengan ke-Azali-an Dzat-Nya, tidak menyerupai kalam makhluk. Bukan suara yang muncul karena hembusan udara atau bergeseknya benda-benda, bukan huruf yang terputus (terhenti) dengan mengatupnya bibir, atau muncul karena menggerakkan lidah.
Kita meyakini bahwa Nabi Musa mendengar Kalam Allah yang Azali, tanpa huruf dan tanpa suara, sebagaimana orang-orang mukmin akan melihat Dzat Allah di akhirat bukan merupakan benda (jawhar), juga bukan sifat benda (‘Aradl). Karena akal tidak menganggap mustahil mendengar sesuatu yang bukan huruf dan bukan suara. Kalam Allah adz-Dzati [yang merupakan sifat Kalam-Nya] bukan huruf-huruf yang beriringan (susul menyusul) seperti kalam kita.
Jika ada di antara kita orang yang membaca Kalam Allah (dalam makna kitab suci Al-Qur’an) maka bacaannya itu adalah huruf-huruf dan suara yang tidak Azali.
Kalam Allah Bukan Bahasa, Huruf & Bukan Suara
Kalam Allah bukan bahasa, huruf dan bukan suara, yang tidak sama dengan makhluk-Nya.
Al Imam Al Mujtahid Abu Hanifah (w. 150 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:
وَيَتَكَلَّمُ لاَ كَكَلاَمِنَا، نَحْنُ نَتَكَلَّمُ بِاْلآلاَتِ مِنَ اْلمَخَارِجِ وَاْلحُرُوْفِ وَاللهُ مُتَكَلِّمٌ بِلَا ءَالَةٍ وَلاَ حَرْفٍ
“Dan Allah berfirman tidak seperti kalam kita, kita berbicara dengan alat-alat dari makhraj (tempat keluarnya huruf) dan huruf, dan Allah berfirman dengan tanpa alat dan tanpa huruf” (Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Absath).
Al Imam Abu Hanifah -radliyallahu ‘anhu- menegaskan bahwa kalam Allah tidak sama dengan kalam makhluk. Kalam makhluk dengan menggunakan alat dan keluar dari makhraj seperti lisan, bibir, tenggorokan dan lainya, sedangkan kalam Allah tidak menggunakan alat dan tidak keluar makhraj.
Karena itu Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan perbedaan kalam Allah dengan kalam makhluk sebagai berikut:
- Kalam makhluk berupa bahasa, sedangkan kalam Allah bukan bahasa.
- Kalam makhluk berupa huruf, sedangkan kalam Allah bukan berupa huruf.
- Kalam makhluk berupa suara, sedangkan kalam Allah bukan berupa suara.
Karena Kalam Allah adalah sifat Allah, semua sifat Allah itu azaliyah abadiyah. Kalam Allah itu azali dan abadi, Azali itu tidak berpermulaan dan abadi itu tidak berakhiran. Bahasa, huruf dan suara itu berpermulaan dan berakhiran. Kalam Allah bukan bahasa, huruf dan suara, perkataan al Imam Abu Hanifah adalah bantahan terhadap kelompok Wahhabi yang meyakini kalam Allah berupa bahasa, huruf dan suara.
Al Qur’an yang kita baca adalah kalam Allah dengan makna ibaroh (ungkapan) dari sifat kalam Allah yang azali dan abadi. Karena ketika disebut kalam Allah, maka ia memiliki dua pengertian:
- Al-Kalam adz-Dzati, yaitu kalam yang merupakan sifat Allah yang azaliah dan abadiyah, tidak berupa bahasa, huruf dan suara.
- Al-Lafdzu al-Munazzal, yaitu lafadz yang diturunkan yang menjadi ungkapan dari kalam Allah adz-dzati, ia berupa bahasa, huruf dan suara.
Al Imam Al Mujtahid Abu Hanifah (150 H) -radliyallahu ‘anhu- berkata:
وَاللهُ وَاحِدٌ لاَ مِنْ طَرِيْقِ اْلعَدَدِ وَلَكِنْ مِنْ طَرِيْقِ أَنَّهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
“Allah itu esa tidak dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa Allah tidak ada sekutu bagi-Nya” (Disebutkan oleh al-Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Fiqh al-Akbar)
Allah maha Esa artinya Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada serupa bagi-Nya, tidak ada bandingan bagi-Nya. Allah maha Esa bukan dari segi bilangan yang merupakan kebalikan dari dua, tiga dan seterusnya. Karena bilangan satu itu bisa dibagi-bagi, dibagi dua menjadi setengah, dibagi tiga menjadi sepertiga, dibagi empat menjadi seperempat dan seterusnya.
Kenapa demikian?
- Bilangan itu bisa dibagi
- Sesuatu yang bisa dibagi adalah jisim
- Allah bukan jisim
Sehingga… Allah Esa bukan dari segi bilangan, Allah Esa pada dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Dzat Allah tidak serupa dengan dzat makhluk, dzat Allah bukan jisim sedangkan dzat makhluk berupa jisim. Sifat Allah tidak serupa dengan sifat makhluk, sifat Allah azaliyah (tidak berpermulaan), sedangkan sifat manusia haaditsah (berpermulaan) dan berubah-ubah.
Perbuatan Allah tidak serupa dengan perbuatan makhluk, perbuatan Allah azaliyah (tidak berpermulaan), sedangkan perbuatan makhluk itu haaditsah (berpermulaan), Allah yang menciptakannya pada makhluk.
Al Imam Malik bin Anas -radliyallahu ‘anhu- (w. 179 H) ketika ditanya tentang makna QS Thoha: 5, berkata:
(الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى) كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلاَ يُقَالُ كَيْفَ وكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
“Ar Rahmanu’ ala al-Arsy istawa” sebagaimana Ia mensifati Dzat-Nya dan tidak boleh dikatakan bagaimana (istiwa’nya), dan kaif (sifat makhluk) itu mustahil bagi Allah” (Diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Bayhaqi dalam kitab al Asma’ wa as-Shifat)
Al Imam Malik bin Anas radliyallahu ‘anhu adalah:
- Nama beliau Abu Abdillah Malik bin Anas, lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 179 H
- Beliau adalah seorang mujtahid muthlaq, pendiri madzhab Maliki
- Penulis kitab al-Muwatho’ dalam hadits dan dikenal dengan imam Dar al-Hijrah.
Beliau adalah seorang ulama yang dimaksud oleh Rasulullah dalam haditsnya:
يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ
“Hampir saja orang-orang mengencangkan untanya untuk menuntut ilmu, mereka tidak mendapatkan seorang alim yang lebih berilmu dari alim Madinah.” HR at Tirmidzi
Makna perkataan al-Imam Malik bin Anas –radliyallahu ‘anhu-: “Allah ‘ala al-Arsy istawa sebagaimana Allah mensifati Dzat-Nya” artinya kita wajib meyakini bahwa Allah memiliki sifat al-Istiwa’ ‘ala al-Arsy, karena sudah ada nash-nya dalam al Qur’an di antaranya dalam QS Thaha ayat ke 5. Namun al Imam Malik bin Anas menjelaskan bahwa al Istiwa’ dalam ayat tersebut bukan sifat makhluk seperti duduk dan bersemayam, sehingga tidak boleh dipertanyakan bagaimana Istiwa’ Allah?!
Al Istiwa’ yang merupakan sifat makhluk seperti duduk dan bersemayam adalah mustahil bagi Allah ta’ala. Catatan Penting Riwayat ini adalah riwayat yang tsabit dari al-Imam Malik bin Anas Radliyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Al-Hafidz al-Bayhaqi dengan sanad Jayyid sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fath al-Bari.
Sedangkan riwayat yang sering disebut kelompok Wahhabi bahwa imam Malik berkata: وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ adalah riwayat yang tidak tsabit dari al imam Malik. Dengan riwayat ini mereka mengatakan, Allah itu bersemayam tetapi tidak diketahui bagaimana tata caranya. Mereka menetapkan kaifiyah (sifat makhluk), tetapi mereka tidak tahu tata caranya.